Dentingan jarum jam terasa lebih cepat  hitungannya. Tiga puluh menit mendatang sebuah ‘maha’ pilihan harus  ditentukan Elia. Langkah berderap menyusuri titian tangga menuju ruang  kelasnya. Dahinya berkerut sepanjang jalan tadi, tanda kegalauan hatinya  yang begitu kuat memantul di wajah. Ada sedikit pikiran implisit yang  menerobos di sebelah cerebelum Elia pagi ini. Pikiran yang akan  menentukan masa depannya, yang sebenarnya tidak patut jika hanya  disebut implisit saja, melihat urgensinya yang begitu tinggi.
Waktu menunjukkan pukul 11.00 seiring surya  yang mulai melenggang naik ke singgasana paling menyengat, Elia  berkeringat berhadapan dengan kertas berkolom banyak. Ada sebaris suku  kata disana, Pilihan 1 dan satunya lagi Pilihan 2. Sementara dibawahnya  ada tiga baris kolom panjang mengekor. Di meja lain di sudut depan  ruangan kelas, Pa Dino guru BP SMA 12 memilin-milin  rambutnya yang agak  kriting. Beliau menunggui ketigapuluh murid yang sedang sibuk  menggunakan hak pilih masa depannya. Raut kebingungan menguap kental di  ruangan. Elia termasuk didalamnya.
Lima menit berlalu sejak bolpion itu mulai  diraih. Sebagian kolom telah penuh. Namun itu bukan kolom yang ada di  kertas Elia. Kertas yang sudah penuh terisi dan siap dikumpulkan itu  milik teman sebelahnya, Evian. 
“Oke, akhirnya selesai juga. Tentu ini  terlihat begitu mudah namun sulit..bukan begitu El?” Suara Evian memecah  keheningan dalam diri Elia. 
El itu nama panggilan kesayangan yang dianugrahkan Evian pada teman sebangkunya.
“Hmm…o.ya tentu Evian.” Jawab Elia sekenanya. Wajahnya masih menampakkan gurat kebingungan.
Sesaat kemudian berlalulah masa tegang itu.  Elia mendesah lega. Lega selega pikirannya, namun tidak dengan hatinya  yang sempit. Sesempit pilihan yang  ia tentukan untuk melangkah ke tahap  awal masa depannya. Memeras ilmu di  jenjang pendidikan yang lebih  tinggi. 
Bisa dibilang Elia sama sekali tidak punya  alternatif pilihan dalam menentukan bidang studi mana yang akan ia  tekuni untuk kedepannya. Elia hanya mengandalkan pilihan orang tuanya  saja. Bukan ia tak mau memperjuangkan keinginan serta cita-citanya,  namun Elia ini terlampau netral dalam mengambil sebuah keputusan. Tidak  kurang asam, dan tidak lebih basa. Begitulah mungkin presepsinya jika  termaktub dalam ilmu kimia. 
“Entahlah…aku hanya menuruti kata orang tuaku  saja, guru ya guru. Tidak ada opsi lain baik dari mereka ataupun aku  sendiri. Bahkan aspirasiku tak berani muncul sedikitpun, mungkin saking  penurutnya aku, Eve.” Papar Elia pada Eve, yang tak lain adalah Evian.  Teman sebangkunya.
“Mungkin saja bukan masalah penurut atau tidaknya El, tapi kamunya aja yang ga punya ambisi untuk mencapai sesuatu hal yang menantang. Sekalipun itu  untuk masa depanmu, kadang terlampau berhati-hati pun itu tak baik El.”  Jawab Evian, hampir mematahkan argumen Elia.
“Bukan, ini bukan seperti apa yang kamu  pikirkan Eve. Bukan aku tak mau berambisi untuk sebuah pencapaian  keberhasilan, namun banyak faktor yang menjadikan kendala tentang hal  ini semakin melintang pukang untukku.”
Memang Elia ini tidak seberuntung Evian yang hampir setiap hari mampu bergonta ganti tas branded. Dari mulai Guess hingga Louis Vuitton kualitas terbaik bisa ia pakai ke sekolah. Mungkin untuk ukuran Elia,  uang tas itu bisa digunakan untuk membeli kursi yang sudah rapuh di  rumahnya. 
Berangkat dari sana Elia tidak terlalu banyak  berharap bisa melanjutkan studi di bidang Hubungan Internasional, yang   pada dasarnya memang menjadi sasaran orang-orang berkelas dalam memilih  jurusan perguruan tinggi. 
Banyak faktor pengekang dalam diri Elia, ia terlampau takut untuk mengexplore daya  keilmuannya. Tidak seperti Evian yang tidak usah banyak memikirkan hal  lain selain konsentrasinya pada program studi Pendidikan Dokter yang  telah dipilihkan orang tuanya.
Elia Primadina - 12 IPA 3 
Pilihan 1 : Pendidikan Kewarganegaraan
Pilihan 2 : Pendidikan Bahasa Indonesia
Begitu miris memang, kala Elia harus  menuliskan pilihan yang tidak sealiran dengan suara hatinya. Tapi tak  apa, baginya masuk ke jurusan keguruan lebih mudah dan tidak memakan  biaya lebih dibanding ia harus memaksakan kehendaknya untuk masuk ke  kelas hubungan internasional, kelas yang juga internasional pergaulan  dan lifestyle nya.
***
Dua belas pekan berlalu, tes seleksi masuk  perguruan tinggi telah dilalui Elia, begitupun Evian. Hasil memang tidak  selalu sebanding dengan proses yang dijalani. Proses itu perih namun  lebih berharga jika dilihat dari sudut pandang kecakapan diri. Elia  lolos pilihan pertama. Evian gagal masuk kedokteran setelah ikut tes  lagi sebanyak lebih dari dua rayon. 
“Allah itu maha adil Eve, usaha yang telah  kamu jalani tidak akan hilang begitu saja dalam penilaiannya. Percayalah  Dia selalu memberi yang terbaik untukmu. Yang perlu kamu lakukan  sekarang hanya bersyukur atas segala yang telah Allah karuniakan kepada  kamu, termasuk kenikmatan meneruskan pendidikan.” Elia berusaha  menenangkan hati Evian yang tersedu saat melihat pengumuman seleksi  masuk Kedokteran di Universitas harapan terakhirnya.
“Aku merasa semua ini sia-sia El, aku ikut  bimbingan eksklusif selama lebih dari enam bulan hanya untuk memenuhi  keinginan orang tuaku yang ngebet ingin melihatku mengenakan jas putih kelak.”
“Justru itulah yang jadi cobaan untukmu Eve,  Kamu harus bisa membuktikan bahwa bukan pilihan orang tuamu yang terbaik  untuk dijalani saat ini. Perjuangkanlah apa yang menjadi cita-citamu  dulu, karena sesungguhnya ini adalah celah yang disediakan Allah agar  kamu mengembangkan potensimu.”
Keduanya terdiam seketika, tak banyak yang  dibicarakan lagi saat itu. Hati keduanya tercekat, senasib guratan senja  yang terhimpit awan jingga. Pilihan yang ditentukan kini telah menjelma  menjadi sesuatu yang mau tak mau mesti dijalani. Namun satu yang mereka  pegang. Duduk di bangku perguruan tinggi adalah suatu karunia yang  harus disyukuri, karena tidak semua yang berduit dan berilmu bisa  mengenyang pendidikan dengan tenang. Soal pilihan, keyakinan mereka  terus menguat seiring waktu bahwa inilah yang terbaik yang telah  dipilihkan Allah.
Ibadah. Itulah yang tersurat di benak Elia semenjak itu. 
“Masuk jurusan keguruan tidaklah begitu buruk  jika dibandingkan dengan orang-orang yang susah payah ingin menjadi  guru. Tapi…jika dibandingkan dengan anak-anak di kelas jelas jauh.  Mereka masuk Universitas terbaik negeri dengan jurusan yang elite pula.”  Elia tidak sadar akan hatinya. Dibalik nasihat-nasihatnya pada Evian,  ia masih tidak bersyukur dengan karunia yang telah diberikan kepadanya.
***
Segala puji dan syukur senantiasa menjadi  milik-Nya, penguasa segala isi jagat raya, dzat yang membolak balikan  hati dan Maha menampakkan kebenaran pada manusia dari apa yang tidak  disyukurinya. 
***
Elia memulai hidup barunya. Kampus baru,  orang-orang baru, dan tentunya semangat baru. Air mukanya selalu  bersemangat meski di sisi lain hatinya sedikit malu menapaki hari-hari  untuk kelak menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin ia belum  menyadari apa yang menjadi rencana-Nya di depan sana. 
Suasana di kelas baru Elia begitu berbeda dengan waktu SMA dulu, orang-orang di kelasnya lebih terlihat sederhana dan nyopan. Kontradiktif dengan jeans abu  dan kemeja hijau yang dikenakan Elia pagi itu. Tidak hanya penampilan,  saat dosen menjelaskan pun orang-orang baru di sekelilingnya ramai  mengacungkan tangan untuk sekedar memenuhi hawa penasaran yang ada. Elia  kesal. Ia merasa tidak mendapatkan tempat untuk sekedar berbicara.
Sepekan habis dilalui Elia dengan kuliah  pulang-kuliah pulang. Tidak ada satupun kegiatan yang diminatinya di  sana. Padahal dulu Elia loyal dan aktif di organisasi fotografi yang ada di sekolahnya. Ia merasa belum klop dengan  kehidupannya yang sekarang ini. Bila diingat, sungguh pandainya Elia  berbicara tentang ‘ibadah’. Kenyataannya tidak sesuai dengan hidup Elia  kini yang penuh penyesalan.
***
Di sudut ruangan lain Evian merasa sudah  mulai ikhlas dengan jurusan Farmasi yang dipilihnya dulu. Setidaknya ini  masih di satu bidang, Kedokteran. Tidak terlalu jauh andai kata ia  mesti menyebrang untuk menemukan pilihan terbaik yang disediakan Allah  untuknya. Kuliah yang dijalani Evian berjalan lancar.
Sementara Evian melenggang naik meraih  sisa-sisa pengalaman hidup yang disediakan, Elia masih saja berkutat  dengan ketidaknyamanannya. Hingga suatu ketika ia seperti dilempari batu  peringatan tepat ke mukanya. Mungkin sebagai balasan karena Elia tak  kunjung kembali untuk sekedar bersyukur dan ikhlas.
***
Hari itu pagi mendung, siang menyengat, dan  sore sedikit basah. Elia berniat pulang cepat setelah dosen dihadapannya  mengatup bibir dan keluar ruangan. Namun menit itu tidak berlalu lancar  saat dosen Ilmu Negara tiba-tiba menunjuk Elia dan bertanya, 
“Coba kamu yang berbaju hijau, sebutkan  tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam UUD 1945!” perintahnya  dengan suara lantang. 
Elia tidak mengantuk kala itu, ia jelas  memperhatikan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut sang  dosen. Tangannya mulai dingin, Elia kaget. Tapi tentunya ia merasa bisa  menjawab pertanyaan itu, ia pikir untuk apa kaget dan tegang. Jawab  saja, bereslah perkara. 
“Hmmmrrrggg…” mulut Elia tiba-tiba tergagu,  kata-kata yang keluar dari mulutnya hanyalah sepenggal dari jawaban yang  seharusnya ia lontarkan.
“Mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi  segenap bangsa Indonesia..rrrhhh.” Elia gelagapan, ia malu setengah  mati. Malu terhadap orang-orang yang ia anggap norak dan terlalu  sederhana, and the most dia malu terhadap sang dosen berperut besar yang berdiri tepat dihadapannya.
“Haduuh ini masuk jurusan PKn kok ndak bisa nyebutin tujuan negara. Bagaimana urusannya?” Ruangan mendadak sunyi. “Kamu asli mana neng? Alumni SMA mana kamu?” lanjut sang dosen.
“Hmm saya asli orang sini pak. Saya alumni SMA 12.” Jawab Elia singkat dan penuh rasa malu. Ia tertunduk menyesal.
***
Detik-detik itu serasa menggantung di pikiran  Elia, baru kali ini ia merasa dipermalukan. Dipermalukan diri sendiri,  tepatnya. Ditambah obrolan ringan tapi mengiris hati dengan teman yang  baru dikenalnya siang tadi, malam itu begitu menyiksa pikiran Elia. 
“Oh..kamu dari SMA 12 toh ? Bukannya itu sekolah favorit yah? Standar Internasional lagi, masa kamu kok ga bisa jawab pertanyaan segampang itu? Atau..kamu benar-benar nyasar? Salah pilih jurusan ya neng ? Hahaha..”  Tawa itu membahana di telinga Elia, bahkan hingga detik terakhir menuju tidurnya. 
“Aduuuh malu-maluin banget sih Elia!  Bodoh..bodoh..Arrrgghh!!” muka Elia memerah menahan amarah yang sudah  memuncak di ubun-ubunnya. Kalau tiba-tiba ada kambing lewat, mungkin  bisa mati penyok diterkam kemarahannya.
Elia jadi teringat sahabatnya, Evian. Meski  gagal masuk kedokteran, menguras banyak uang, waktu dan pikiran, Evian  masih bisa bersyukur dan ikhlas dengan dirinya yang sekarang. Sempat  terngiang kata-kata yang dulu pernah disampaikan Evian saat ia tengah  mencoba bangkit dari kegagalan.
 “Bersyukur itu manis, El. Cobalah cicipi  setiap remahnya. Nikmati aromanya yang khas. Jangan lantas berang.  Semangat selalu ya, El.”
 Senyum Evian pun terbias di balik mata Elia. Senyum pun menyeringai di bibir Elia akankah sebuah tanda perubahan?
Elia jelas tak mau hal itu terulang untuk  kedua kalinya. Hari-hari berikutnya dijalani Elia dengan lebih tenang.  Kali ini ia meluruskan niatnya kembali. Murni ibadah. Tanpa embel-embel  umpatan di pagi hari, atau keangkuhan yang tersembunyi. Elia mulai  berusaha mengubah dirinya. 
Elia mengerjakan tugas demi tugas dengan  baik, menjawab pertanyaan-pertanyaan dosen dengan mendekati sempurna,  dan berbicara lebih banyak mengenai apa-apa saja kepada orang-orang  sederhana di sekitarnya. Elia sudah mulai memanggil mereka dengan  sebutan teman.
Angin terlampau lembut berhembus, matahari  terlalu memanjakan Elia dengan kehangatan yang pas siang itu. Elia  terduduk santai di selasar mesjid di kampusnya. Kepalanya tertunduk  khusyuk menatap untaian kalam Ilahi, bola matanya berair. Elia hampir  menitikkan air matanya,
“Ini termasuk kurnia  Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan  nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia  bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar,  maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”
Pilihan 1 : Pendidikan Kewarganegaraan
Pilihan pertama yang  ditulis Elia. Pilihan mentok dari orang tua Elia. Pilihan yang terbaik  yang telah Allah berikan untuk Elia. Pilihan untuk menguji seberapa  jauh, seberapa besar, dan seberapa tinggi rasa syukur Elia akan nikmat  hidup. Pilihan yang mengantarkan Elia pada keluasan berpikir dan tujuan  ibadah pada Sang Maha Pengasih.
Sungguh rasa syukur itu bisa berarti apa  saja, bisa dengan cara apa saja, dan bisa dalam bentuk apa saja. Syukur  itu sebuah ketulusan dan ritual pengembalian pada Sang Pencipta.  Gejalanya akan sangat terasa saat tertinggal. Manisnya hidup tak akan  terengkuh jika syukur itu tidak senantiasa menyelubungi hati. Terlalu  mengejar nafsu–mencakar langit di atas langit.
0 Response to "PILIHAN PERTAMA"
Post a Comment