Tak pernah terbayangkan di benak Ana  sebelumnya, bahwa ia akan mengalami peristiwa krusial seperti itu. Pergi  berdua dengan seorang laki-laki sebayanya di malam hari adalah hal yang  tabu bagi Ana. Selama ini ia tak pernah sedikitpun membiarkan teman  laki-lakinya berinteraksi secara berlebihan dengannya. Yang Ana maksud  berlebihan itu, contohnya satu peristiwa di atas. Menyapa mereka setiap  hari pun itu hal langka bagi Ana. Biasanya dua hari sekali, itu cukup.  Dan jika tetap seperti itu, ia tak akan semalang sekarang.
Rambutnya serasa dijambak. Ana terlalu  berlebihan memang. Tapi ia benar-benar merasa kalah saat ini. Kepalanya  pening, sejurus dengan tangannya yang mendadak gemetar. Sebenarnya Ana  tak punya penyakit ayan ataupun anemia, hanya saja ia baru pertama kali  merasa dirinya foolish tingkat tinggi. Sampai-sampai kepalanya  berdenyut berontak, sebagai isyarat bahwa otaknya pun tak bisa menerima  kenyataan yang sebenarnya. Kebodohannya.
Ana seorang biasa, bahkan terlalu biasa  mungkin. Yang ia lakukan setiap harinya, selain bersekolah paling pergi  les harmonika di hari Selasa, dan sedikit hang out di hari Sabtu.  Semuanya dilakukan sendiri, tidak dengan teman segeng ataupun pacar.  Karena ia tak memiliki keduanya. Yang ada hanya teman sekelas, dan  interaksinya pun hanya terjadi di sekolah dan sekitarnya. Tidak lebih  dari itu. Dan satu hal, ia tak begitu percaya laki-laki.
 ***
“Sebenarnya apa sih yang dia ingin tahu?  Atau, bantuan apa yang dia butuhkan dariku? Pinjam catatan? Bantuin  bikin tugas grafis? Atau apa siiih..!!??” gumam Ana dalam hati. “Kali  ini dia benar-benar membuatku mati bingung.” sambungnya.
Sejak minggu lalu Omar, teman laki-laki di  kelas Ana bertingkah aneh. Tapi itu pendapat Ana. Aneh dalam orientasi  Ana bukanlah seperti anak autis atau gila. Melainkan aneh karena Omar  bersikap lain padanya. Omar bisa dikatakan teman terjail di kelas Ana.  Hampir setiap selepas sholat, sepatu pantofel Ana disambarnya untuk  dibawa lari ke kelas. Lalu disembunyikan di balik meja. Hampir setiap  hari pula Ana naik darah.
Namun, kali ini Omar lain. Ia lebih sering  diam dihadapan Ana. Padahal seingat Ana, ia tak pernah melakukan hal-hal  yang membuat Omar sakit hati sampai bersikap seperti itu. Omar bersikap  dingin, muram, dan sedikit menakutkan bagi Ana. Sekali lagi ia  berlebihan.
“Berprasangka baik An, jangan hanya karena  dia tidak menyembunyikan sepatumu, kamu jadi ikut pusing mikirin suasana  hatinya.” timpal Ana, sesaat menoleh ke arah Omar yang masih muram.  Bahkan hingga jam pelajaran berakhir. “Mungkin dia lagi galau mikirin  jurusan kali ya..kan wajar, mana mau UN. Asal tidak sampai bunuh diri,  kau dalam keadaan baik-baik saja Ana.” jawabnya lagi pada diri sendiri.  Ngawurnya kambuh.
 ***
Ana merebahkan diri di permukaan empuk  bermotif bintang. Ponselnya bergetar. Sesaat muncul nama kontak ‘O m a  r’ memanggil, di layar ponselnya. Bukannya menekan tombol ‘jawab’, Ana  malah loncat dari tempat tidurnya sembari melotot kaget. Lima detik  berlalu. Waktu yang sebentar, namun cukup untuk membuktikan bahwa Omar  bukanlah si penyabar seperti yang diharapkan Ana. Tak ada percakapan.  Kamar Ana pun manguap sepi.
Esoknya di koridor, Ana berpapasan dengan  Omar. Kali ini Omar tersenyum simpul, tapi Ana tetap bingung  memperhatikannya. Tak disangka hari itu berlalu dengan sangat ganjil  bagi Ana. Selama pelajaran Biologi, Omar terlihat mencuri pandang ke  arahnya. Ana ge-er.
Di hari yang sama, satu voicemail diterima Ana. Dari Omar. 
Kira-kira seperti ini bunyinya :
“Aku lagi bingung milih jurusan nih, An.  Minta masukannya dong. Aku jemput kerumah ya. Sekalian anter nyiapin  buat persyaratan PMDK. Aku tau rumah kamu ko. Lima belas menit lagi kamu  tunggu depan rumah ya.” suara Omar terdengar berisik.
Ana terperanjat lagi mendengarnya. Namun,  kali ini ia sigap. Disambarnya jaket biru kesayangannya, dikenakan  seadanya bersama kerudung putih simple. Lima menit setelahnya ia sudah  berdiri dibalik pintu pagar. Bersiap menunggu Omar.
Suara motor Omar terdengar bising di tengah  perumahan sepi tempat kediaman Ana. Kali ini misi Ana hanya untuk  memberi masukan pada Omar, tidak lebih dari itu. Tak lama keduanya pun  melaju bersama. Terlihat senyum Ana menyiratkan kegembiraan. Ia tertipu.
 ***
Pukul sembilan malam tepat, Ana pulang  diantar Omar. Dua jam itu hanya digunakannya untuk mengobrol, bertukar  pikiran mengenai kebingungan yang melanda Omar. Sebentar keduanya mampir  ke studio foto. Bukan untuk foto bersama, melainkan mengantar Omar  menyelesaikan persyaratan pendaftaran untuk diserahkan esoknya.
“Makasih ya, An. Kamu ngebantu banget.  Oya..boleh minta tolong satu lagi ga? Tolong beresin tugas grafis aku  yah..Nih bahannya.” pinta Omar, tanpa rasa malu sedikitpun.
“Hah? Apa?” muka kesal Ana menyembul, namun  tangannya tetap meraih apa yang disodorkan Omar. Tandanya ia tetap  menerima dengan sepenuh hati, meski serasa ditindas.
Sejurus kemudian Omar berlalu bersama deru  motornya, sementara Ana masih termangu di depan pagar. Meratapi  kemalangannya, kebodohannya. Patut disebut seperti itu, karena malam  istimewa yang dinantikannya sejak dulu berakhir dengan menyisakan  kekalahan. Kekalahan pendirian Ana sendiri yang baru pertama kali merasa  disanjung laki-laki dengan diajak pergi keluar berdua, malam hari pula.  Padah cuma mau disuruh-suruh.
0 Response to "Pergi Berdua"
Post a Comment